Senin, 01 Juni 2009

membangun karakter generasi muda

Pakar antropologi mendiskusikan cara terbaik membangun karakter generasi muda. Mereka mengenali generasi muda dari sudut pandang masing-masing.

Kaum muda menurut para tokoh

Membicarakan Kembali Pembangunan Karakter Bangsa: Generasi Muda Indonesia di Tengah Gelombang Globalisasi, merupakan judul diskusi yang digelar oleh para antropolog, berlangsung di Kampus UI, Depok, Kamis (25/10).

Diskusi dengan pembicara para antropolog tersebut merupakan salah satu rangkaian acara peringatan “Koentjaraningrat Memorial Lecture IV dan HUT ke-50 Tahun Kajian Antropologi di Indonesia.”

Mereka mendiskusikan sejauhmana generasi muda dapat berperan menghadapi segala macam persaingan di era globalisasi, yang semakin ketat sekarang ini. Mereka berupaya menemukan jawaban hendak ke mana generasi muda Indonesia ini dibawa.

Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono, antropolog dan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI, misalnya, menyoroti berbagai sisi kehidupan manusia yang selama ini luput dari pembangun karakter, jiwa dan raga manusia.

Meutia Hatta yang juga Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) mengungkapkan, pada jaman sekarang perhatian anak muda hanya terpusat kepada pembangunan ekonomi dengan orientasi ke fisik. Dengan karakter demikian tak mengherankan apabila di kalangan anak muda tumbuh subur sifat-sifat materialisme, praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), serta berbagai jenis perilaku tidak terpuji lainnya. Meutia mengatakan, karakter anak muda saat ini sudah abai dari pembangunan kemanusiaan.

“Sejak tahun 1974 Koentjaraningrat sebagai Bapak Antropologi Indonesia sudah mengingatkan kita jauh hari tentang pentingnya pembangunan karakter bangsa,” ucap Meutia, putri tertua Bapak Proklamator Bung Hatta.

Meutia mengutip beberapa patah kalimat perihal karakter yang tertuang dalam buku Koentjaraningat, yang masih sangat relevan sebagai bahan perenungan. Karakter tersebut merupakan gambaran mentalitas generasi muda saat ini.

Yaitu, pertama, mentalitas yang meremehkan mutu. Kedua, mentalitas suka menerabas. Ketiga, sifat tidak percaya kepada diri sendiri. Keempat, sifat tidak berdisiplin murni. Dan kelima, sifat tidak bertanggung jawab.

Meutia menyimpulkan, menghadapi era globalisasi, karakter generasi muda harus lebih meningkatkan pembangunan budi pekerti dan sikap menghormati, dengan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Kita itu harus memiliki sifat menghargai mutu, memiliki kesabaran untuk meniti usaha dari awal, adanya rasa percaya diri, memiliki sikap disiplin waktu bekerja, serta memiliki sifat mengutamakan tanggung jawab,” paparnya.

Sedangkan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. der Soz Gumilar R. Somantri mengatakan, membangun karakter bangsa harus secara nyata dan realistis. Yaitu membangun keunggulan dan daya saing, serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

“Para generasi muda sekarang ini harus menumbuhkan memori secara kolektif untuk menuju pembangunan bangsa yang lebih maju,” ujar antropolog lulusan luar negeri tersebut.

Menurut Gumilar, karakter bertalian erat dengan peta kognitif dan kebudayaan. Dan faktor kunci perubahan sosial terletak di situ. Karena itu perlu dilakukan refleksi atas konsepsi pembangunan sejati, yang menempatkan manusia sebagai perhatian utama dalam pembangunan karakter.

Antropolog Prof. Achmad Fedyiani Saifuddin antropolog dari Universitas Indonesia, berpendapat senada dengan Gumilar. Menurut Saifuddin, karakter suatu masyarakat khususnya generasi muda adalah identitas masyarakat itu sendiri, yang diekspresikan dan dipancarkan dari kebudayaan masyarakat. Manusia harus dipandang sebagai subyek yang dapat berpikir, merancang kehidupan, dan memproduksi sesuatu. Peran negara hanya sebagai fasilitator jangan lagi mendominasi sebagai kekuasaan sentral.

Dr. Johsz R. Mansoben, MA dosen antropologi FISIP Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura menyoroti karakter generasi muda Indonesia dari perspektif Papua. Ia secara khusus menyoroti fenomena penyimpangan perilaku. Johsz menilai implementasi berbagai program pembangunan manusia dari kaum elit, yang memosisikan diri mereka sebagai manusia paling super, menjadi gagal karena program tersebut tidak sesuai dengan aturan baku. Menurut Johsz, kegagalan pembangunan manusia seharusnya tidak perlu terjadi apabila para pembuat kebijakan pada level nasional memahami betul nilai-nilai dan budaya lokal.

Sementara itu pakar antropologi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Dr. Selly Riawanti, MA membagi pengelompokan generasi muda ke dalam beberapa sudut pandang. Pertama, merujuk kepada konsep demografi. Dalam hal ini generasi muda dibagi ke dalam usia persiapan masuk dunia kerja, atau usia produktif antara 15-40 tahun. Selly mengatakan saat ini terdapat 40.234.823 penduduk Indonesia masuk dalam kategori generasi muda.

Kedua, dari sudut pandang sosial budaya. Generasi muda dari sudut pandang ini memiliki sifat majemuk dengan aneka ragam etnis, agama, ekonomi, tempat tinggal/domisili, dan bahasa. Mereka memiliki ciri ekosistem kehidupan yang terbagi ke dalam masyarakat nelayan, petani, pertambangan, perdagangan, perkantoran dan sebagainya.

Selly mengambil contoh film karya Garin Nugroho berjudul “Anak Seribu Pulau”, yang melukiskan sebuah keanekaragaman dan kesadaran sosial budaya yang dimiliki bangsa Indonesia. Film itu menggambarkan anak-anak Indonesia dari berbagai daerah, dan dengan ekosistem mereka masing-masing dengan bangga menampilkan, memperkenalkan, dan menjelaskan kebudayaan tradisional yang dimilikinya.

Itulah berbagai ragam karakter generasi muda Indonesia saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar